Huaaahh.. Udah lama juga nggak ngupdate blog tercinta.
Nggak kerasa, sekarang udah duduk di bangku kelas 11 alias kelas 2 SMA. Itu artinya, 2 tahun lagi gue lulus dan masuk Perguruan Tinggi Negri (PTN) favorit! *Amiinnn..*
Rasanya baru 5 bulan yang lalu gue nyari-nyari SMA Negri yang berdomisili di Jakarta. Hahaha.
Karena udah lama nggak ngupdate blog, gue rasa postingan kali ini bakalan cukup panjang dan 'berbobot' dibandingkan dengan postingan lainnya. Mengapa? Karena cukup banyak yang akan gue ceritakan. Mengapa? Karena cukup banyak yang gue alami selama setahun jadi murid SMA, dan selama liburan kenaikan kelas kemarin. Mengapa? Karena rasanya nggak ada gunanya punya pengalaman yang nggak bisa di-share di blog, kalo punya blog. Mengapa?
Cukup.
So, as what I've written on my older older older post on which I was kinda sad and disappointed cause I didn't get to be in my first choice of public senior high, I now realize that it was not my time anymore.
Udah lewat banget.
I guess that's what my juniors feel this year.
Yep.
I now am a senior.
No, not at all, actually.
Di Indonesia kan sistem pendidikannya beda sama di Amerika Serikat. Jadi, yah... Kalo itungannya gue sekarang kelas 11, berarti namanya Junior .__.
Hahaha. Lupakan~
Sempet kaget juga sih begitu tau kalo yang duduk di kelas 10 tahun 2013/2014 udah mulai penjurusan. Jadinya sekarang ada kelas X IPA 1, X IPS 1, X IPA 2, X IPS 2, dst....
Aneh aja gitu rasanya .__.
Sekaligus kasihan juga sih, karena mungkin masih banyak diantara mereka yang belom tau pasti mau milih apa, dan mau jadi apa. Jadinya belum ada fokus studinya gitu.
Tapi yah, semoga mereka enjoy di kelas mereka masing-masing :)
Waktu gue masih kelas X, gue bisa dibilang cukup ngebet masuk IPA. Padahal waktu itu cuma pengen gengsi-gengsian doang biar disangka anak pinter.
Huahaha.
Begitu mulai masuk semester 2, gue baru dapet profesi apa yang bakal gue pilih sebagai 'kelanjutan' tekad gue untuk masuk IPA:
Dokter hewan.
Lho? Bener dong. Dokter hewan kan pasti anak IPA.
Intinya waktu itu I was way more blind about the school programs; Natural, or Social Science.
Waktu itu juga sempet guru PKn gue yang juga menjabat sebagai wakil kesiswaan manggil gue dan 2 orang temen sekelas lantaran katanya, tugas PKn kita belom sampai di tangannya. Dia sempet ceramah panjang lebar tentang sekolah dan prestasi, dengan gayanya yang konyol.
Kemudian, beliau nanya ke kita masing-masing, cita-citanya mau jadi apa.
Ketika tiba giliran gue untuk menjawab pertanyaan sepanjang masa itu, gue jawab, "Dokter hewan pak. Hehe.."
Beliau dan 2 orang temen gue ketawa.
Nggak tau kenapa, rasanya gue jadi rada tersinggung. Bagaimana pun juga, dokter hewan tetaplah dokter hewan. Meskipun nggak ngerawat sesamanya, dokter hewan juga bisa punya gaji gede. Apalagi jaman sekarang makin banyak manusia yang pengen punya hewan peliharaan.
Entah emang suka sama hewan, atau buat gaya-gayaan doang.
Ujung-ujungnya mereka butuh ke dokter hewan.
But that's not that. Di penghujung semester 2, dimana gue sedang bergumul berat apakah akan milih masuk IPA atau IPS, gue di-fingerprint sama temen nyokap yang kerja di salah satu tempat psikologi anak yang menyediakan jasa fingerprint untuk segala umur.
Di situ kesepuluh jari gue (tangan tentunya, bukan kaki.) di-'foto' pakai sebuah alat berbentuk persegi yang dimana jari-jari gue ditempelkan di alat itu.
Hasilnya? Nunggu 2 minggu.
Temen nyokap gue ngirim via email, jadi bisa gue print dan masih ada softcopy-nya.
Sambil nunggu prosesnya, temen nyokap gue mengajukan sesuatu yang gue belum pernah tahu.
"Kezia coba deh, ngeker." katanya.
"Nyeker tante?" gue bingung.
"Ngeker..." jawab nyokap.
Gue menggulung sebuah kertas dan gue ngeker.
"Naah... Kan, apa tante bilang? Kamu orangnya logistik sekali."
"Kok gitu?" tanya gue.
"Iya, kamu langsung ngeker pake mata kanan. Mata kanan yang kamu pake buat fokus ngeliat ke depan. Berarti kamu cenderung pake otak kiri. Berarti kamu orangnya logistik."
"Oohh..."
Rasanya selama ini gue salah menilai diri gue sebagai orang yang amat sangat nggak logis karena gue tukang berimajinasi. Itu artinya gue menggunakan daya imajinasi gue yang terletak di otak kanan.
Tapi kok, malah otak kiri?
Setelah cukup lama berada di tempat itu, gue beserta nyokap dan bokap pulang ke rumah.
2 minggu berlalu, dan hasilnya pun keluar.
Nyokap gue yang ngeprint hasilnya kedengeran rada kecewa begitu nelpon gue.
Dari beberapa intelligences yang dimiliki manusia pada umumnya, gue punya nggak ada yang dikategorikan strong alias kuat.
Yah, ada sih. Mathematic Logistic dan Natural. Tapi itupun nggak begitu besar.
Kita dikasih buku panduan tentang penjelasan masing-masing intelligence. Gue dan nyokap liat yang Natural. Disitu dijelasin kalau orang yang Natural-nya cukup tinggi adalah mereka yang suka banget berada di alam. Profesi yang cocok buat mereka (termasuk gue) diantaranya;
Dokter hewan, peneliti alam, dan semacem orang yang bekerja di konservasi alam.
Sangat gue.
Masih nggak puas dengan hasil fingerprint, gue dibawa sama bokap ke sebuah mall di kawasan Serpong untuk ketemu sama tante dari sodara bokap yang merupakan seorang psikolog lulusan UnPad.
Wih.
Di situ kita duduk di sebuah restoran yang tempatnya nggak banyak keliatan orang.
Sementara bokap dan tante gue asik ngobrol, gue sibuk ngerjain ratusan (mungkin ribuan) soal psikotes secepat mungkin sambil sesekali minum es teh manis biar nggak mupeng.
Ada ratus... Well, "ribuan" soal psikotes berupa kalimat panjang yang harus gue hitamkan jawaban yang sesuai dengan kepribadian gue. Selesai ngerjain soal-soal itu, tiba saatnya bagi tante gue untuk mengetes kemampuan gue.
Ada soal dimana gue harus menentukan gambar kubus manakah yang sama dengan gambar di setiap soalnya.
Susah-susah gampang sih. Soalnya polanya mirip-mirip gitu.
Selang 15 menit (kalo gak salah) tante gue bilang "Yak, waktunya udah habis ya Kez.."
Dan menarik kertas gue.
Terus ada lagi soal dimana gue harus menentukan pola dalam bentuk angka.
Sempet kebingungan karena dalam pikiran gue, ada begitu banyak cara yang bisa digunakan.
Sayangnya, kalo dihitung dari kiri-kanan sesuai, tapi sesudahnya kok ngawur.
Dan begitu juga sebaliknya.
And last but not least was... You know. The 'drawing test'.
Di sini gue dikasih selembar kertas dimana terdapat 6 kotak tersedia buat gue gambar apa pun itu, pokoknya harus nyatu sama lekukan/garis/titik yang terdapat di setiap kotaknya.
Nerusin gambar gitu. Terus, kita tulis urutan setiap kotak manakah yang kita selesain duluan, dan tulis itu gambar apa aja.
Gue sempet bingung mau gambar apa.
Tapi kemudian gue meneruskan kotak kedua dari baris bawah yang ada titik di tengah-tengahnya.
Gue gambar bola voli.
Dilanjutkan dengan gambar makhluk hidup semacam kelinci, buku novel, anak cewek pakai seragam, dan mesin penyedot debu.
Sambil ngegambar gue ketawa sendiri.
Bukan apa-apa, ya! Tapi gue geli sendiri sama yang ada di otak gue, sekaligus malu karena udah SMA tapi gambar gue masih kayak anak TK.
Lalu, gue dikasih selembar kertas HVS kosong melompong.
Gue disuruh gambar lagi.
Yang pertama, disuruh gambar orang seluruh badan, dari kepala sampai kaki.
Jujur, gue juga cekikikan sendiri sembari ngegambar karena yang gue gambar adalah gambar anak cewek pakai kaos bertuliskan huruf 'K' ditengah, celana pendek, rambut sepinggang, berkacamata, dan sepatu kets. Kakinya ke samping gitu, tangannya juga.
Waktu SD gue sempet suka sama hal berbau manga. Gue juga sempet 'ngoleksi' komik-komik Jepang mulai dari Doraemon, Hai Miiko, sampai majalah komik.
Jadilah setiap kali disuruh gambar orang, yang ada di kepala gue adalah image orang tipe manga.
Tapi yah, namanya juga 'pecinta' manga boongan. Jadinya apa yang gue gambar tidak sesuai dengan apa yang ada di pikiran gue.
Begitu gue kasih gambar gue, tante gue nyuruh untuk ngegambar pohon.
Pohon apa saja.
Gue gambar pohon asal-asalan, yang padahal gue berharap bisa bernilai artistik.
Eh ternyata nggak juga.
Sambil menunggu bokap dan tante gue ngobrol, gue iseng gambar kelinci di sebelah akar pohonnya.
Haha.
Selang beberapa menit, tante gue sibuk dengan penilaiannya akan hasil psikotes gue.
Lalu, dia bilang:
"Hmm... Jadi, jadi, jadi... Kezia ini masih kekanak-kanakan ya, ternyata? Hehe."
What??
Yah, jujur aja sih. Gue sendiri juga nggak jarang mendapati diri sendiri melakukan hal-hal konyol yang (biasanya) anak kecil lakukan
"... Jadi sebenernya dia masih bisa dibentuk ini. Dari tes yang pertama, Kezia itu 95% minat dan kemampuannya di Literatur, 78% di Musik, sisanya di sains..." lanjutnya. "...Kezia juga bagusnya nanti masuk Komunikasi nih, tapi kalo ntar rasa care-nya sama orang lain mulai ada. Kalo sekarang kan Kezia masih butuh perhatian, belum bisa numpahin perhatian. Kalo nggak masuk Komunikasi, bisa juga masuk Sastra..."
Wuih.
Komunikasi.
Sastra.
Rasa-rasanya dua fakultas itu cukup menarik buat gue ambil nanti pas kuliah.
"...Kezia juga orangnya tipe yang banyaaaak banget keinginan dan mimpinya tapi sedikit daya juangnya untuk mencapai itu semua... Nah, makanya mumpung masih SMA, kamu manfaatin waktu yang ada buat menggapai semua yang kamu mau ke depan. Tante saranin sih, kamu masuk IPS aja daripada IPA..."
IPS? Well...
"...Nah, pokoknya emang kamu udah the best deh kalo masuk IPS. Udah nggak usah ribet-ribet berkutat sama pelajaran eksak, trus kamu juga berpotensi di IPS... Yah?"
Dan berakhirlah sudah sesi pertemuan kami sampai di situ.
Nyokap gue dateng dari gereja, begitu pula dengan om gue dan anak mereka yang abis nonton di bioskop.
Jadi, di sinilah gue sekarang.
Duduk di bangku SMA kelas 2, jurusan IPS.
Waktu masih semester 1 kelas X, gue masih semangat ngumpulin nilai mapel IPA, supaya gue bisa masuk IPA.
Begitu masuk semester 2, gue mulai ningkatin nilai mapel IPS gue, supaya kalo gue masuk IPS (waktu itu), gue bisa nunjukin ke guru-guru kalau nggak semua anak IPS itu adalah mereka yang nggak mampu masuk di IPA.
Yah, walaupun di angkatan-angkatan sebelumnya juga banyak yang kayak begitu sih.
Dan, apa yang gue inginkan pun terjadi.
Tepat di hari Senin di pertengahan bulan Juni, gue dapet SMS dari temen sekelas, yang bilang kalo ada 13 anak di kelas gue yang bisa masuk IPA tapi pengen masuk IPS.
Dan, ada nama gue di situ.
Gue bales wali kelas gue dengan SMS: "Maaf Pak, tapi saya minat masuk IPS. Terima kasih Pak."
Dan beliau bales, "Baik."
Dan, jadilah gue anak IPS.
Well, sempet sedih juga sih karena itu artinya malam terakhir gue belajar Biologi (salah satu mapel favorit gue sejak SD) adalah ketika remed satu angkatan usai UAS :P
Tapi, ya sudahlah.
Nikmatin aja dulu masa-masa terbebas dari hal-hal eksak for like... 2 years... More.
Yah, mungkin Tuhan juga maunya gue masuk IPS :)
Semoga postingan kali ini bermanfaat buat yang membaca dan buat yang sedang/akan bimbang milih jurusan.
Pilih jurusan yang sesuai sama bakat dan minat, dan tentunya: sesuai sama apa maunya Tuhan :)
Nggak kerasa, sekarang udah duduk di bangku kelas 11 alias kelas 2 SMA. Itu artinya, 2 tahun lagi gue lulus dan masuk Perguruan Tinggi Negri (PTN) favorit! *Amiinnn..*
Rasanya baru 5 bulan yang lalu gue nyari-nyari SMA Negri yang berdomisili di Jakarta. Hahaha.
Karena udah lama nggak ngupdate blog, gue rasa postingan kali ini bakalan cukup panjang dan 'berbobot' dibandingkan dengan postingan lainnya. Mengapa? Karena cukup banyak yang akan gue ceritakan. Mengapa? Karena cukup banyak yang gue alami selama setahun jadi murid SMA, dan selama liburan kenaikan kelas kemarin. Mengapa? Karena rasanya nggak ada gunanya punya pengalaman yang nggak bisa di-share di blog, kalo punya blog. Mengapa?
Cukup.
So, as what I've written on my older older older post on which I was kinda sad and disappointed cause I didn't get to be in my first choice of public senior high, I now realize that it was not my time anymore.
Udah lewat banget.
I guess that's what my juniors feel this year.
Yep.
I now am a senior.
No, not at all, actually.
Di Indonesia kan sistem pendidikannya beda sama di Amerika Serikat. Jadi, yah... Kalo itungannya gue sekarang kelas 11, berarti namanya Junior .__.
Hahaha. Lupakan~
Sempet kaget juga sih begitu tau kalo yang duduk di kelas 10 tahun 2013/2014 udah mulai penjurusan. Jadinya sekarang ada kelas X IPA 1, X IPS 1, X IPA 2, X IPS 2, dst....
Aneh aja gitu rasanya .__.
Sekaligus kasihan juga sih, karena mungkin masih banyak diantara mereka yang belom tau pasti mau milih apa, dan mau jadi apa. Jadinya belum ada fokus studinya gitu.
Tapi yah, semoga mereka enjoy di kelas mereka masing-masing :)
Waktu gue masih kelas X, gue bisa dibilang cukup ngebet masuk IPA. Padahal waktu itu cuma pengen gengsi-gengsian doang biar disangka anak pinter.
Huahaha.
Begitu mulai masuk semester 2, gue baru dapet profesi apa yang bakal gue pilih sebagai 'kelanjutan' tekad gue untuk masuk IPA:
Dokter hewan.
Lho? Bener dong. Dokter hewan kan pasti anak IPA.
Intinya waktu itu I was way more blind about the school programs; Natural, or Social Science.
Waktu itu juga sempet guru PKn gue yang juga menjabat sebagai wakil kesiswaan manggil gue dan 2 orang temen sekelas lantaran katanya, tugas PKn kita belom sampai di tangannya. Dia sempet ceramah panjang lebar tentang sekolah dan prestasi, dengan gayanya yang konyol.
Kemudian, beliau nanya ke kita masing-masing, cita-citanya mau jadi apa.
Ketika tiba giliran gue untuk menjawab pertanyaan sepanjang masa itu, gue jawab, "Dokter hewan pak. Hehe.."
Beliau dan 2 orang temen gue ketawa.
Nggak tau kenapa, rasanya gue jadi rada tersinggung. Bagaimana pun juga, dokter hewan tetaplah dokter hewan. Meskipun nggak ngerawat sesamanya, dokter hewan juga bisa punya gaji gede. Apalagi jaman sekarang makin banyak manusia yang pengen punya hewan peliharaan.
Entah emang suka sama hewan, atau buat gaya-gayaan doang.
Ujung-ujungnya mereka butuh ke dokter hewan.
But that's not that. Di penghujung semester 2, dimana gue sedang bergumul berat apakah akan milih masuk IPA atau IPS, gue di-fingerprint sama temen nyokap yang kerja di salah satu tempat psikologi anak yang menyediakan jasa fingerprint untuk segala umur.
Di situ kesepuluh jari gue (tangan tentunya, bukan kaki.) di-'foto' pakai sebuah alat berbentuk persegi yang dimana jari-jari gue ditempelkan di alat itu.
Hasilnya? Nunggu 2 minggu.
Temen nyokap gue ngirim via email, jadi bisa gue print dan masih ada softcopy-nya.
Sambil nunggu prosesnya, temen nyokap gue mengajukan sesuatu yang gue belum pernah tahu.
"Kezia coba deh, ngeker." katanya.
"Nyeker tante?" gue bingung.
"Ngeker..." jawab nyokap.
Gue menggulung sebuah kertas dan gue ngeker.
"Naah... Kan, apa tante bilang? Kamu orangnya logistik sekali."
"Kok gitu?" tanya gue.
"Iya, kamu langsung ngeker pake mata kanan. Mata kanan yang kamu pake buat fokus ngeliat ke depan. Berarti kamu cenderung pake otak kiri. Berarti kamu orangnya logistik."
"Oohh..."
Rasanya selama ini gue salah menilai diri gue sebagai orang yang amat sangat nggak logis karena gue tukang berimajinasi. Itu artinya gue menggunakan daya imajinasi gue yang terletak di otak kanan.
Tapi kok, malah otak kiri?
Setelah cukup lama berada di tempat itu, gue beserta nyokap dan bokap pulang ke rumah.
2 minggu berlalu, dan hasilnya pun keluar.
Nyokap gue yang ngeprint hasilnya kedengeran rada kecewa begitu nelpon gue.
Dari beberapa intelligences yang dimiliki manusia pada umumnya, gue punya nggak ada yang dikategorikan strong alias kuat.
Yah, ada sih. Mathematic Logistic dan Natural. Tapi itupun nggak begitu besar.
Kita dikasih buku panduan tentang penjelasan masing-masing intelligence. Gue dan nyokap liat yang Natural. Disitu dijelasin kalau orang yang Natural-nya cukup tinggi adalah mereka yang suka banget berada di alam. Profesi yang cocok buat mereka (termasuk gue) diantaranya;
Dokter hewan, peneliti alam, dan semacem orang yang bekerja di konservasi alam.
Sangat gue.
Masih nggak puas dengan hasil fingerprint, gue dibawa sama bokap ke sebuah mall di kawasan Serpong untuk ketemu sama tante dari sodara bokap yang merupakan seorang psikolog lulusan UnPad.
Wih.
Di situ kita duduk di sebuah restoran yang tempatnya nggak banyak keliatan orang.
Sementara bokap dan tante gue asik ngobrol, gue sibuk ngerjain ratusan (mungkin ribuan) soal psikotes secepat mungkin sambil sesekali minum es teh manis biar nggak mupeng.
Ada ratus... Well, "ribuan" soal psikotes berupa kalimat panjang yang harus gue hitamkan jawaban yang sesuai dengan kepribadian gue. Selesai ngerjain soal-soal itu, tiba saatnya bagi tante gue untuk mengetes kemampuan gue.
Ada soal dimana gue harus menentukan gambar kubus manakah yang sama dengan gambar di setiap soalnya.
Susah-susah gampang sih. Soalnya polanya mirip-mirip gitu.
Selang 15 menit (kalo gak salah) tante gue bilang "Yak, waktunya udah habis ya Kez.."
Dan menarik kertas gue.
Terus ada lagi soal dimana gue harus menentukan pola dalam bentuk angka.
Sempet kebingungan karena dalam pikiran gue, ada begitu banyak cara yang bisa digunakan.
Sayangnya, kalo dihitung dari kiri-kanan sesuai, tapi sesudahnya kok ngawur.
Dan begitu juga sebaliknya.
And last but not least was... You know. The 'drawing test'.
Di sini gue dikasih selembar kertas dimana terdapat 6 kotak tersedia buat gue gambar apa pun itu, pokoknya harus nyatu sama lekukan/garis/titik yang terdapat di setiap kotaknya.
Nerusin gambar gitu. Terus, kita tulis urutan setiap kotak manakah yang kita selesain duluan, dan tulis itu gambar apa aja.
Gue sempet bingung mau gambar apa.
Tapi kemudian gue meneruskan kotak kedua dari baris bawah yang ada titik di tengah-tengahnya.
Gue gambar bola voli.
Dilanjutkan dengan gambar makhluk hidup semacam kelinci, buku novel, anak cewek pakai seragam, dan mesin penyedot debu.
Sambil ngegambar gue ketawa sendiri.
Bukan apa-apa, ya! Tapi gue geli sendiri sama yang ada di otak gue, sekaligus malu karena udah SMA tapi gambar gue masih kayak anak TK.
Lalu, gue dikasih selembar kertas HVS kosong melompong.
Gue disuruh gambar lagi.
Yang pertama, disuruh gambar orang seluruh badan, dari kepala sampai kaki.
Jujur, gue juga cekikikan sendiri sembari ngegambar karena yang gue gambar adalah gambar anak cewek pakai kaos bertuliskan huruf 'K' ditengah, celana pendek, rambut sepinggang, berkacamata, dan sepatu kets. Kakinya ke samping gitu, tangannya juga.
Waktu SD gue sempet suka sama hal berbau manga. Gue juga sempet 'ngoleksi' komik-komik Jepang mulai dari Doraemon, Hai Miiko, sampai majalah komik.
Jadilah setiap kali disuruh gambar orang, yang ada di kepala gue adalah image orang tipe manga.
Tapi yah, namanya juga 'pecinta' manga boongan. Jadinya apa yang gue gambar tidak sesuai dengan apa yang ada di pikiran gue.
Begitu gue kasih gambar gue, tante gue nyuruh untuk ngegambar pohon.
Pohon apa saja.
Gue gambar pohon asal-asalan, yang padahal gue berharap bisa bernilai artistik.
Eh ternyata nggak juga.
Sambil menunggu bokap dan tante gue ngobrol, gue iseng gambar kelinci di sebelah akar pohonnya.
Haha.
Selang beberapa menit, tante gue sibuk dengan penilaiannya akan hasil psikotes gue.
Lalu, dia bilang:
"Hmm... Jadi, jadi, jadi... Kezia ini masih kekanak-kanakan ya, ternyata? Hehe."
What??
Yah, jujur aja sih. Gue sendiri juga nggak jarang mendapati diri sendiri melakukan hal-hal konyol yang (biasanya) anak kecil lakukan
"... Jadi sebenernya dia masih bisa dibentuk ini. Dari tes yang pertama, Kezia itu 95% minat dan kemampuannya di Literatur, 78% di Musik, sisanya di sains..." lanjutnya. "...Kezia juga bagusnya nanti masuk Komunikasi nih, tapi kalo ntar rasa care-nya sama orang lain mulai ada. Kalo sekarang kan Kezia masih butuh perhatian, belum bisa numpahin perhatian. Kalo nggak masuk Komunikasi, bisa juga masuk Sastra..."
Wuih.
Komunikasi.
Sastra.
Rasa-rasanya dua fakultas itu cukup menarik buat gue ambil nanti pas kuliah.
"...Kezia juga orangnya tipe yang banyaaaak banget keinginan dan mimpinya tapi sedikit daya juangnya untuk mencapai itu semua... Nah, makanya mumpung masih SMA, kamu manfaatin waktu yang ada buat menggapai semua yang kamu mau ke depan. Tante saranin sih, kamu masuk IPS aja daripada IPA..."
IPS? Well...
"...Nah, pokoknya emang kamu udah the best deh kalo masuk IPS. Udah nggak usah ribet-ribet berkutat sama pelajaran eksak, trus kamu juga berpotensi di IPS... Yah?"
Dan berakhirlah sudah sesi pertemuan kami sampai di situ.
Nyokap gue dateng dari gereja, begitu pula dengan om gue dan anak mereka yang abis nonton di bioskop.
Jadi, di sinilah gue sekarang.
Duduk di bangku SMA kelas 2, jurusan IPS.
Waktu masih semester 1 kelas X, gue masih semangat ngumpulin nilai mapel IPA, supaya gue bisa masuk IPA.
Begitu masuk semester 2, gue mulai ningkatin nilai mapel IPS gue, supaya kalo gue masuk IPS (waktu itu), gue bisa nunjukin ke guru-guru kalau nggak semua anak IPS itu adalah mereka yang nggak mampu masuk di IPA.
Yah, walaupun di angkatan-angkatan sebelumnya juga banyak yang kayak begitu sih.
Dan, apa yang gue inginkan pun terjadi.
Tepat di hari Senin di pertengahan bulan Juni, gue dapet SMS dari temen sekelas, yang bilang kalo ada 13 anak di kelas gue yang bisa masuk IPA tapi pengen masuk IPS.
Dan, ada nama gue di situ.
Gue bales wali kelas gue dengan SMS: "Maaf Pak, tapi saya minat masuk IPS. Terima kasih Pak."
Dan beliau bales, "Baik."
Dan, jadilah gue anak IPS.
Well, sempet sedih juga sih karena itu artinya malam terakhir gue belajar Biologi (salah satu mapel favorit gue sejak SD) adalah ketika remed satu angkatan usai UAS :P
Tapi, ya sudahlah.
Nikmatin aja dulu masa-masa terbebas dari hal-hal eksak for like... 2 years... More.
Yah, mungkin Tuhan juga maunya gue masuk IPS :)
Semoga postingan kali ini bermanfaat buat yang membaca dan buat yang sedang/akan bimbang milih jurusan.
Pilih jurusan yang sesuai sama bakat dan minat, dan tentunya: sesuai sama apa maunya Tuhan :)