Anak Tunggal

By Kezia Tania - Saturday, August 06, 2016

Hai hai hai! Gak terasa sekarang sudah bulan Agustus, dan saya masih dalam masa libur semester. Sempat 'bingung' juga mau ngapain lagi selama liburan ini karena waktunya 'terlalu lama' (padahal kalau lagi masa kuliah bawaannya pengen libuur terus.. Hahaha :P).



Anyway, judul postingan kali ini sebenarnya udah lama banget pingin saya tulis tapi berhubung banyak hal yang menghalangi kesempatan untuk menulis, jadi... *sok sibuk.

Judulnya kentara sekali, ya?

Belakangan ini saya 'berhasil' mengambil beberapa hal yang timbul di pikiran orang kebanyakan dan fakta sebenarnya tentang anak tunggal.

Saya sendiri anak tunggal, gak punya kakak maupun adik kandung. Dari dulu sampai sekarang pertanyaan seperti "enak gak, jadi anak tunggal?" atau "kepingin punya kakak atau adek gak?" gak jarang saya terima dari orang-orang baik yang udah kenal maupun baru kenal.

Jawabannya ada 2; enak dan gak enak.

Sebelumnya, saya mau ingatkan kalau postingan ini muncul dari pikiran saya sendiri, bukan dari web atau blog orang, jadi apa yang bakal tertulis selanjutnya adalah buah opini saya. Jadi.... Mohon maaf kalau ada hal-hal yang nggak berkenan di hati kalian yang baca postingan saya, mungkin kurang sreg sama pendapat saya, dan sebagainya dan sebagainya (it's an opinion after all, nobody's right nor wrong though).

Oke, kembali lagi ke pertanyaan dan jawaban sebelumnya.
Enaknya jadi anak tunggal menurut saya adalah dimana saya gak perlu berbagi makanan atau pun barang-barang yang saya sukai. Hmm.. Egois banget ya, hahaha tapi saya yakin setiap orang pasti punya sifat keegoisannya sendiri :P

Gak enaknya, rumah terasa sepi. Well, gak sepi-sepi banget sih karena toh orangtua saya tipe yang suka ngobrol jadi gak begitu terasa sepinya (atau mungkin karena saya 'menikmati' kesendirian..? Haha!). Gak enak karena gak punya teman main, teman curhat (meski bisa curhat sama mama/papa tapi toh tetap ada bedanya kalau bisa curhat sama orang yang masih sepantaran dengan kita).

Yah, sama halnya ketika 2 pertanyaan di atas ditanyakan pada mereka yang punya saudara kandung. Hal-hal yang membuat definisi anak tunggal terasa berbeda sebenarnya terletak pada perspektif orang lain.

Menurut saya, gak sedikit orang yang mengira kalau anak tunggal itu pasti anak manja karena semua keinginannya hampir selalu dituruti orangtuanya. Is that so? Jawabannya............. Nope, not really.

Iya, mungkin ada beberapa orangtua yang memperlakukan anak tunggalnya secara super spesial, segala hal yang diinginkan selalu dituruti sampai akhirnya si anak kerap ngambek kalau gak diturutin. Tapi gak semua anak tunggal kayak gitu kok ;)



Terus lagi, menurut saya, jadi anak tunggal itu besar tuntutan hidupnya. Kenapa? Orangtua pada umumnya mau setiap anaknya jadi pribadi yang lebih baik dan lebih sukses dari mereka. Kebayang dong, apa jadinya kalau mereka punya ahli waris alias keturunan cuma satu? Yup, si ibu misalkan jago masak. Ia pasti berharap anaknya bisa jauh lebih jago masak ketimbang dirinya. Sedangkan si bapak misalnya pengusaha hebat, pasti ia mau anak tunggalnya bisa lebih hebat lagi darinya.

Tapi apakah si anak bisa menyanggupi 'impian-impian' orangtuanya?

Well, tergantung sih.

Pernah denger adanya tes bakat dan minat?

Iya biasanya tes semacam ini dikhususkan untuk mereka yang masih kecil, dan kerap kali ada di taman kanak-kanak, atau jenjang pendidikan SD (meski gak menutup kemungkinan hingga SMP/SMA atau untuk kalangan umum masih ada tes seperti ini).

Biasanya orangtua akan mendaftarkan buah hati mereka yang masih kecil untuk ikut tes ini, dan melihat apa aja yang anak mereka senangi supaya nantinya baik saat hendak ikut ekskul di sekolah, ikut les ini itu, ambil jurusan kuliah, hingga bekerja si anak bisa enjoy menjalaninya karena sesuai bakat dan minatnya.

Saya yakin sih, mungkin ada orangtua yang sempat 'kecewa' sama hasil tesnya ketika dilihat kalau apa yang jadi minat dan bakat anak mereka ternyata berbeda jauh dari 'impian' mereka. Apalagi kalau anaknya semata wayang.

Rasanya mungkin kayak gak punya 'wadah' lagi untuk 'menanam' keinginan atau bahkan mungkin cita-cita orangtua yang belum sempat tercapai sewaktu muda pada si anak.

Ambil contoh sederhana misalnya saya, yang dilahirkan dari kedua orangtua yang sama-sama menggeluti bidang musik. Ibu saya kuliah di institut kesenian dan majoring bidang musik. Ayah saya dari masih SMP rajin nge-band. Kehidupan keduanya hingga sekarang nggak lepas dari hal-hal yang berbau musik. Setiap harinya.

Tapi saya lebih minat di bidang tulis menulis.

Iya sih, saya belum bisa menghasilkan apa-apa dari tulisan yang nggak ada nilainya sama sekali lewat banyak postingan yang sebenarnya tak berbobot (tapi saya 'poles' agar terlihat seperti berbobot) di blog saya.

Saya yakin nggak ada juga yang berminat membaca postingan saya karena gaya bahasa yang kurang enak, banyak typo sana-sini, penulisan yang kurang baik, hingga ide gak penting yang terus dituang ke dalam blog ini kecuali karena kasihan sama saya yang kelihatannya kok rajin update.

Oke kenapa jadi curhat begini ya.

Intinya saya punya minat yang lebih besar di bidang lain ketimbang bidang yang digeluti orangtua saya.

Banyak orang yang nggak segan-segan 'menampar' saya dengan bilang kalau apa yang saya senangi seharusnya bukan menjadi penghalang saya untuk tetap melanjutkan apa yang digeluti orangtua saya. Mulai dari keluarga, teman-teman, rekan kerja orangtua, rekan sepelayanan mereka, hingga orang lain yang baru dikenal.

Kalimat klise yang selalu mereka tendang ke depan muka saya adalah, "Kok Kezia nggak main piano kayak mamanya?"
.
.
.
.
.

.

.

.
.
.
Ya Tuhan, tolong hambaMu ini.


Mungkin saya juga harus introspeksi diri, 'mengasingkan' diri lebih sering dari 'peradaban' hingga akhirnya bisa mencapai titik dimana saya 'sadar' kalau memang Tuhan menempatkan saya di posisi seperti ini, yang harus bisa semuanya, nggak cuma senang nulis tapi juga excellent di bidang musik, gabung di orkestra ternama dunia atau yah minimal punya album yang melejit di negara sendiri tapi juga sukses meluncurkan novel-novel cerdas yang masuk ke dalam kategori New York Times Bestseller setiap tahunnya.

Saya rasa orangtua saya bakal bangga dengan hal itu.

Mungkin di akhir postingan ini bakal banyak yang penasaran apakah saya setidaknya bisa main alat musik atau nggak. Saya rasa saya perlu menjawab pertanyaan ini sekarang; iya saya bisa main alat musik. Tapi jangan berharap banyak sama saya :P

Saya bisa main piano dan biola, juga sedikit bisa main gitar tapi jangan harap saya bisa main banyak lagu di depan orang. Hahahaha.

Saya pernah beberapa kali pelayanan 'sepaket' bersama orangtua saya di gereja dari saya masih SMP. Saya pelayanan di gereja bersama ibu saya (ibu saya main piano, saya main electone).

Saya sempat mengikuti serangkaian tes penerimaan dan berhasil masuk menjadi anggota orkestra 'bergengsi' di kampus pada semester pertama saya kuliah (which was last year in 2015 :P). Tapi berhubung jadwal kuliah saya berbenturan dengan jadwal latihannya (iya, saya ada kuliah di hari Sabtu pagi), pupus sudah harapan untuk bisa turut merasakan jadi anggota orkestra dan memainkan biola tua saya di hadapan puluhan bahkan ratusan penonton (orkestra kampus saya sering mengadakan resital, dan penontonnya bisa sampai ratusan).

Pada akhirnya saya memutuskan untuk mengirim surat pengunduran diri dengan alasan yang sangat disayangkan; jadwal kuliah bentrok.

Nope, saya tidak sedang bragging.

Saya kadang main piano untuk melepas kejenuhan di rumah dan sekarang sedang berusaha menyelesaikan 6 halaman partitur not balok dari lagu kesukaan saya. Sendirian, tanpa bantuan orangtua.

Sekedar informasi, saya itu orangnya slow learner dalam hal baca not balok. Nilai sight reading test saya pas-pasan banget. Masih suka mikir dan menghitung not-not balok yang saya gak hafal letak-letaknya. Jadi mungkin kalian yang baca postingan ini bisa dapat 'gambaran' yang sebenarnya betapa 'keras' saya belajar menyelesaikan 6 halaman partitur untuk 1 lagu :P

Jadi apakah saya 'layak' disebut sebagai orang yang juga berusaha untuk menggeluti bidang yang orangtua saya geluti meski minat saya sebenarnya lebih besar di bidang yang lain..?

Silakan dijawab :)

Fakta menarik lainnya tentang anak tunggal adalah, ketika kami beranjak dewasa, 'tanggungan' kami cukup besar ketimbang orang-orang lain yang punya saudara kandung.

Maksudnya 'tanggungan' adalah, setiap orang pastinya bertambah usia seiring berjalannya waktu. Ketika orangtua kita mulai menurun kesehatannya, kitalah yang akan 'berbalik' mengurus mereka. Terkait biaya, ketersediaan waktu, dan lain sebagainya haruslah anak-anak dari orangtua yang menanggung. Seandainya punya saudara kandung, mungkin 'tanggungan' yang dimiliki anak tunggal bisa 'dibagi' tergantung jumlah saudara kandungnya.

Tapi kalau jadi anak tunggal, sudah pasti harus dia sendiri yang menanggung meskipun kelak misalnya si anak menikah dan berkeluarga, tapi kurang etis rasanya kalau si anak memberi tanggungan yang harus 'dipikul' ke pasangan hidupnya.

Saya berjanji, ketika saya punya penghasilan yang cukup untuk menghidupi diri saya sendiri nanti sebagian uang dan waktu saya akan saya berikan untuk orangtua saya. Memang sudah jadi 'hukumnya' bagi saya untuk 'berbalik' mengurusi orangtua di usia mereka yang senja nanti.

Sesibuk apa pun, 'seminim' finansial saya nantinya (saya harap sih tidak minim) saya akan mengurus orangtua saya. Saya nggak mau membebankan tanggungan saya ke pasangan hidup saya nanti, bahkan mungkin ketika saya sedang bekerja dan orangtua saya hendak pergi keluar (butuh kendaraan) saya janji akan mengupayakan mengantar jemput mereka tanpa meminta tolong suami saya. Kecuali kalau memang benar-benar tidak memungkinkan seperti misalnya saya sedang bekerja di luar kota atau bahkan luar negri.

Bagaimana pun, orangtua saya adalah pribadi yang telah membesarkan dan mendidik saya hingga saya bekerja nanti.

Mungkin hal yang jadi 'kendala' dalam hal 'tanggungan' seorang anak tunggal bagi orangtua yang mulai berumur lebih terletak pada waktu dan sumber daya manusia yang ada. Ketika secara finansial mencukupi, SDM belum tentu tercukupi karena ini menyangkut urusan pribadi, urusan keluarga.

Duh, jadi kemana-mana kan bahasnya.

Dibalik segala fakta dan anggapan banyak orang terkait anak tunggal, saya percaya sebenarnya banyak orang yang mengasihi anak tunggal.

Saya bisa merasakan dukungan dari pihak keluarga, teman-teman, hingga orang lain di sekitar saya yang nggak melulu 'menampar' saya dengan banyak hal yang buat saya sakit hati dan merasa terpojokkan karena 'tuntutan' hidup sebagai seorang anak tunggal.

Memang orang-orang yang terbaik adalah mereka yang berani melontarkan kritik yang kerap kali 'pedas' karena memang merekalah orang-orang yang mengasihi kita, mungkin kita sendiri perlu introspeksi sehingga akhirnya sadar kalau kita butuh 'dilucuti' untuk bisa jadi pribadi yang lebih baik.


In the end, nobody's perfect. Kita juga harus bisa 'melihat' bahwa nggak ada manusia yang sempurna, bahkan yang paling sempurna pun pasti ada sisi kelemahannya sendiri. We can't treat people to be exactly what we want them to be.

Uh, klise sekali.

Nope, postingan ini saya tulis bukan karena ada keinginan untuk sharing 'keterpurukan' saya terhadap orang-orang yang 'menampar' saya, yang memasang 'tali pengekang kuda' di kehidupan saya agar saya hidup menjadi orang yang mereka inginkan.

Tuhan punya maksud tersendiri kenapa saya dan anak-anak tunggal lainnya (atau mungkin kalian yang baca postingan ini) dilahirkan di posisi seperti ini.

Mungkin Tuhan 'melihat' kalau saya dan anak-anak tunggal lainnya punya kemampuan lebih dalam menjalani hidup #kepedean (?) Hahaha.

Ah, apalah saya yang cuma mahasiswi berumur 19 tahun dan hanya bisa nyerocos sana-sini tanpa ada bukti realnya. Oh well, kiranya postingan kali ini bisa menghibur, dan menjadi berkat bagi yang membaca.

Sebagai penutup, saya nemu gambar 'unik' di bawah ini yang saya rasa cukup menyimpulkan segala tetek bengek yang saya tulis di postingan ini. Have a nice day, God bless! :)


Yeah, baby ;)



-Kezia Tania-







  • Share:

You Might Also Like

0 comments