Smallest Things Counted

By Kezia Tania - Friday, January 27, 2017

Halo!



Akhirnya setelah sekian lama nggak tulis postingan, hari ini saya kembali memberi 'nafas kehidupan' bagi blog saya :P



Selamat Natal 2016 dan Tahun Baru 2017!



Sekarang saya masih libur semester (akan kembali masuk kuliah di semester ke-4 awal bulan Februari) dan saya rasa ini merupakan kesempatan yang baik untuk saya bisa kembali membuat postingan baru.



Anyway, hari ini pikiran saya 'terisi penuh' sama bahan renungan pagi ini. Sekedar sharing, saya kalau SaTe (Saat Teduh) biasanya dari website ini. Aplikasinya juga bisa di-download, kok! (Google Play, App Store)

Hari ini saya merasa ditegur karena apa yang selama ini ada dalam pikiran saya ternyata salah.

Yah, hal ini sebenarnya nggak bersifat 'statis' di dalam pikiran saya, karena sudah berkali-kali juga Tuhan ingatkan saya mengenai hal yang sama. Tapi entah kenapa rasanya hal itu sulit sekali untuk bisa sepenuhnya lepas dari benak saya.

Jadi, SaTe kali ini membukakan tentang peranan Harun dan Hur yang turut mengambil bagian yang mungkin sebagian dari kita 'lupakan' dalam kemenangan bangsa Israel berperang melawan orang Amalek di Rafidim. Pada saat itu, apabila Musa mengangkat tangannya selama bangsa Israel berperang, maka bangsa Israel akan lebih kuat. Sebaliknya, apabila Musa menurunkan tangannya, maka orang Amalek yang menjadi lebih kuat (Keluaran 17:11).

Sama seperti manusia biasa lainnya, Musa pun merasakan penat karena harus terus mengangkat kedua tangannya. Oleh sebab itu, Harun dan Hur 'berinisiatif' mengambil batu untuk Musa dapat duduk dan keduanya membantu menopang kedua tangan Musa sehingga tangannya terus terangkat sampai matahari terbenam (Keluaran 17:12).

Mungkin kita takjub atas kuasa Tuhan yang dapat membuat bangsa Israel menang melawan orang Amalek 'hanya dengan' kedua tangan Musa yang terangkat ke atas selama perang berlangsung.

But we might also forget how both Aaron and Hur took a very important part of Israel's victory.

Saya rasa hal ini sama seperti kehidupan kita sehari-hari di mana terkadang, kita merasa pelayanan yang 'besar' merupakan pelayanan yang berharga di mata Tuhan, sedangkan bentuk pelayanan lainnya yang terkesan 'kecil' tidak bernilai di mata-Nya.

Iya, saya tahu postingan ini seolah-olah mewakili pribadi yang baru saja lahir baru, seakan pribadi tersebut baru mengenal Allah yang menyelamatkan, seakan pribadi tersebut masih dalam tahap bayi; belum berkembang, belum bertumbuh.

Tapi saya rasa tidak ada salahnya saya menulis postingan ini. Pada akhirnya, di tengah perjalanan iman kita, kerap kali kita lupa akan bagian ini yang berujung pada rasa sombong ketika diberi kesempatan untuk 'bertanggung jawab' pada pelayanan tertentu yang 'terkesan' lebih sulit, lebih besar, lebih 'wow' atau justru menjadi minder karena mendapat kesempatan melayani dalam bentuk pelayanan yang 'terkesan' simple, mudah, "semua orang juga bisa".

Ah, entahlah. Mungkin hanya saya seorang yang kepikiran akan hal seperti ini (kadang suka minder kalau diberi kesempatan melayani di hal-hal 'kecil').

Tapi, saya ingin sharing kalau pelayanan 'sekecil apa pun' itu sungguh berharga di mata-Nya. Nggak peduli kamu seorang pelayan yang menyiapkan kursi-kursi gereja, menjadi seorang usher dan kolektan, menjadi seorang pendoa 'diam-diam' bagi orang lain, menjadi operator slide ibadah, menjadi seorang jemaat yang turut menyodorkan Alkitabmu bagi jemaat lain yang duduk di sampingmu (yang saat itu sedang tidak bawa Alkitab), atau bahkan menjadi seorang life supporter bagi orang-orang di sekitarmu.

Beberapa tahun yang lalu, saya sempat bergumul untuk terlibat dalam suatu wadah pelayanan namun pada akhirnya Tuhan menjawab untuk saya belum saatnya (atau mungkin tidak sama sekali) terlibat dalam wadah tersebut. Itulah sebabnya saya suka excited kalau bestie saya yang memang terlibat dalam pelayanan itu dipanggil Tuhan untuk melayani di situ.

I used to think too much that maybe I was useless that He didn't even give me any place to serve.

Kemudian saya diingatkan. Saya 'lupa' beberapa kata yang 'tertinggal' dari 'keluhan' saya pada saat itu:

I used to think too much that maybe I was useless that He didn't even give me any place to serve (the way I wanted).

Saya 'lupa' kalau dalam setiap bagian kehidupan saya, Tuhan turut bekerja dan memakai saya menjadi perpanjangan tangan-Nya bagi orang lain, bagi hal-hal lain yang mungkin tidak sesuai dengan yang saya harapkan karena 'sudah ada' tangan-tangan lain yang Dia pakai untuk bergerak di bidang itu.

Dalam hal studi pun saya yakin Tuhan terus pakai setiap dari kita yang mengenyam pendidikan untuk menjadi alat-Nya. Bukan hanya nilai bagus yang Dia pakai untuk menjadi kemuliaan nama-Nya. Mungkin lewat bagaimana kita berintegritas dalam studi kita, mampu bertanggung jawab dan lewat bantuan yang dapat kita berikan bagi teman-teman kita juga dipakai-Nya.

Mungkin kalau bicara tentang studi, kita yang sudah 'mengenal' pekerjaan Allah dalam hidup kita merasa kalau mengupayakan studi yang maksimal terkesan seperti seorang yang study oriented.

Saya pun pernah disebut seperti itu oleh teman saya. Tapi saya rasa, menjadi pribadi yang study oriented dengan pribadi yang menjalankan studi sebagai bentuk syukur dan 'wadah' untuk bersaksi adalah dua sebutan yang sangat berbeda.

Seorang yang study oriented adalah pribadi yang terus-menerus mengejar studi setinggi langit; tidak peduli bagaimana aspek kehidupan lainnya berlangsung, 'yang penting belajaaaar' terus.
Seorang yang study oriented adalah seorang 'budak nilai' yang begitu mengejar prestise sampai-sampai lupa tujuan utamanya belajar itu untuk Dia.

Sebaliknya, pribadi yang memakai studi sebagai wadah untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya akan mengupayakan studi yang maksimal dengan tujuan yang terpatri dalam hati dan pikirannya untuk memuliakan Allah.

Dalam kehidupan sehari-hari saya juga diingatkan bahkan dalam hal sesederhana membereskan rumah di saat kedua orang tua kita sibuk bekerja juga merupakan bentuk pelayanan; hal seperti ini bisa menjadi salah satu bukti nyata kalau kita bukan hanya sebagai pendengar firman, namun juga pelaku firman.

Basically, I always remind myself to do every little thing by my heart as if I were doing it to the Lord and not to human beings (as in one of my fave verses that comes from Colossians 3:23)

Banyak hal yang saya syukuri tidak terlepas dari rencana Allah dalam hidup saya, dan hal itu termasuk orang-orang terkasih yang boleh turut hadir dalam kehidupan saya; keluarga, sahabat, dan orang-orang lainnya.

Thank you for always supporting me in every little thing I do, and to always appreciate and remind me that He works in every part of my life.


Oke, cukup sekian sepertinya postingan kali ini. Kiranya memberkati :)





-Kezia-








  • Share:

You Might Also Like

0 comments